PIGOVIAN TAX DI INDONESIA
Oleh: Widodo
Kondisi saat ini
Kondisi lingkungan hidup
di Indonesia dapat dilihat dari Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang
dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara nasional
kualitas lingkungan hidup Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2011 sampai
dengan 2014, yaitu dari 65,76 pada tahun 2011 menjadi 63,96 pada tahun 2012 dan
menjadi 63,42 pada tahun 2014 [1].
Apabila dilihat per media, kualitas udara, kualitas air dan tutupan hutan pada
tahun 2014 menunjukkan penurunan. Bahkan dengan mempertimbangkan margin error,
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup menunjukkan kecenderungan yang menurun dari
tahun 2011 hingga tahun 2014.
Salah satu faktor yang mempengruhi kualitas udara adalah emisi gas buang (CO2)
yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor, pembangkit listrik maupun kegiatan
industri yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak dan batu bara). Menurut
data globalcarbonatlas[2], Indonesia merupakan negara penghasil
emisi CO2 terbesar pertama di ASEAN dan urutan ke-11 dari 219 negara
di seluruh dunia.
Upaya Pemerintah Indonesia untuk
menyelamatkan lingkungan dari kerusakan sebagai akibat eksternalitas negatif
perekonomian dilakukan antara lain dengan kebijakan non fiskal dan kebijakan fiskal.
Kebijakan non fiskal dilakukan dengan memberikan kemudahan berinvestasi bagi
penggunaan teknologi ramah lingkungan, misal kemudahan ijin pembangunan pabrik
mobil listrik. Sedangkan kebijakan fiskal dilakukan dengan pengaturan pajak
atas barang yang dapat memberikan dampak terhadap lingkungan (dikenal dengan
istilah pigovian tax) seperti pengenaan
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) ataupun dilain sisi pembebasan
pajak penjualan dan bea masuk impor mobil listrik serta komponennya.
Jenis pajak di Indonesia yang
berkaitan dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah Pajak
Kendaraan, PBBKB, Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Tanah, pajak-pajak tersebut
dikelola oleh Pemerintah Daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (UU/28).
Upaya lain yang dilakukan
pemerintah untuk mengurangi kerusakan lingkungan sebagai akibat limbah plastik
adalah adanya kebijakan plastik berbayar. Namun, kebijakan tersebut masih
banyak kelemahannya antara lain dasar hukum yang lemah, tidak jelas untuk apa
dan dikelola siapa uang hasil pembayaran kantong plastik.
Berdasar uraian di atas dirasa
perlu dibuat suatu ketentuan yang secara jelas mengatur pigovian tax atau pajak atas barang-barang yang berdampak negatif
terhadap lingkungan hidup termasuk secara eksplisit mengatur bahwa hasil
pemungutan pajak digunakan untuk melestarikan lingkungan hidup. Contoh pigovin tax yang sudah berlaku di
beberapa negara adalah Pajak Karbon dan Cukai Plastik.
Pigovian tax
Satu pendekatan untuk mencapai
hasil yang efisien dengan adanya eksternalitas terhadap lingkungan adalah
menetapkan harga polusi sama dengan kerusakan marginal sosial. Pendekatan ini
pertama kali diperkenalkan oleh Arthur C. Pigou pada tahun 1920 dalam buku The
Economics of Welfare. Pigou menganjurkan pengaturan tarif pajak pada
polutan dengan besaran yang sama dengan tambahan kerusakan pada lingkungan dari
setiap tambahan satu unit pencemaran.
Menurut Gilbert (2017)[3],
Salah satu polutan yang paling merusak lingkungan adalah emisi gas buang karbon
dioksida (CO2) dari pembakaran bahan bakar fosil yaitu minyak bumi,
gas alam, dan batu bara. Polutan lain yang turut merusak lingkungan adalah
limbah pabrik, pestisida dan pupuk (N2O) yang digunakan dalam pertanian,
serta sampah. Polutan tersebut dapat dijadikan sebagai tax base pengenaan pigovian
tax.
Penelitian Baranzini dan
Carattini (2017)[4]
memberikan bukti bahwa kurangnya persepsi tentang manfaat carbon tax merupakan salah satu hambatan utama untuk menerima carbon tax. Selain itu, kejelasan
penyaluran hasil pemungutan carbon tax untuk
tujuan pelestarian lingkungan dapat menghasilkan dukungan yang lebih besar dari
masyarakat. Terakhir adanya efek
pelabelan ''kontribusi iklim'' lebih diterima masyarakat dibandingkan dengan label
''pajak karbon''. Perancangan kebijakan yang tepat ditambah dengan komunikasi
efektif mengenai dampak carbon tax
dapat menyebabkan peningkatan akseptabilitas yang substansial.
Pigovian tax di Indonesia
Jenis pajak di Indonesia yang
dapat dikategorikan sebagai Pigovian tax antara
lain Pajak Kendaraan Bermotor, PBBKB, Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Tanah
yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah. Merujuk pasal 5, pasal 23, dan pasal 69, dinyatakan bahwa dasar
pengenaan pajak-pajak tersebut telah mempertimbangkan tingkat
kerusakan/pencemaran lingkungan sebagai akibat penggunaan kendaraan, bahan
bakar maupun air.
Menurut Pasal 8 Ayat (5),
Peggunaan hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% (sepuluh
persen), termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan
untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
transportasi umum. Adapun terkait penggunaan hasil penerimaan PBBKB, Pajak
Air Permukaan dan Pajak Air Tanah tidak disebutkan secara jelas peruntukannya.
Pemerintah juga menetapkan
ketentuan terkait kantong plastik berbayar dengan harga minimal setiap kantong
plastik sebesar minimal Rp200,-. Ketentuan tersebut tertuang dalam Surat Edaran
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang
Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Akan tetapi, Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memberhentikan program kantong plastik
berbayar yang dijalankan toko ritel modern di seluruh Indonesia, terhitung 1
Oktober 2016 sampai dengan diterbitkannya peraturan pemerintah yang berkekuatan
hukum[5].
Penerapan pajak emisi gas buang
di Indonesia telah lama digagas[6]
namun demikian sampai dengan saat ini belum terealisasikan karena memerlukan
kesiapan dari berbagai pihak antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perhubungan dan pelaku industri otomotif[7].
Berdasarkan kondisi yang ada
sekarang, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan untuk perbaikan penerapan pigovian tax di Indonesia. Perbaikan
dimaksud antara lain ekstensifikasi tax
base, kejelasan penggunaan hasil pemungutan, strategi koordinasi dan
komunikasi.
Pigovian tax di Indonesia masih sedikit
diaplikasikan, upaya ekstensifikasi untuk meningkatkan tax base diperlukan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan
hidup. Ekstensifikasi dapat diterapkan pada penambahan objek pajak maupun
subjek pajak. Selain bahan bakar minyak yang sudah dijadikan objek pajak, batu
bara sebagai bahan bakar rumah tangga maupun industri juga menghasilkan emisi
CO2 yang dapat merusak lingkungan. Sampah plastik yang sulit terurai
juga merusak lingkungan. Selain itu pajak bahan bakar yang selama ini diatur
adalah bahan bakar kendaraan bermotor sedangkan bahan bakar industri (misal
untuk alat berat dan generator) tidak dikenakan pajak bahan bakar. Oleh karena
itu batu bara, plastik dan bahan bakar industri merupakan alternatif baru objek
pigovian tax.
Ketentuan Perundang-undangan yang mengatur pigovian tax di Indonesia menyatakan bahwa hasil penerimaan pajak
digunakan untuk hal lain diluar upaya pelestarian lingkungan yaitu perbaikan
jalan dan sarana transportasi. Bahkan beberapa ketentuan tidak mengatur secara
jelas penggunaan hasil pemungutan pajak, sehingga kerusakan/pencemaran
lingkungan dijadikan dasar pengenaan pajak justru tidak mendapat porsi. Adapun
dari hasil penelitian diperoleh bukti bahwa pencantuman secara jelas penggunaan
hasil pigovian tax untuk pelestarian
lingkungan dapat meningkatkan dukungan masyarakat.
Meskipun pemberlakuan ketentuan
plastik berbayar dapat menekan penggunaan plastik, pelaksanaannya mendapat
perlawanan. Hal tersebut dikarenakan dasar hukum yang mengatur tidak kuat,
hanya berupa Surat Edaran Menteri yang tidak masuk dalam tata urutan
perundang-undangan di Indonesia. Pengelolaan dan penggunaan uang hasil
penjualan plastik pun tidak jelas. Agar penerapan aturan plastik berbayar dapat
berjalan dengan baik maka dasar hukumnya perlu diatur ulang dalam peraturan
yang lebih kuat. Ketentuan plastik berbayar dapat ditingkatkan menjadi
ketentuan cukai plastik yang selama ini telah direncanakan penerapannya oleh
pemerintah.
Koordinasi dan komunikasi dengan para
stakeholder mempengaruhi kesiapan
penerapan pigovian tax. Koordinasi
diperlukan untuk menampung masukan terkait besaran tarif, perhitungan, maupun
kendala yang mungkin terjadi sehingga diperoleh kebijakan yang telah
mempertimbangkan aspirasi stakeholder.
Kesimpulan
Penerapan pigovian tax di Indonesia masih sedikit, sedangkan terdapat peluang
untuk ekstensifikasi pengenaan pajak yaitu komoditi yang mempunyai
eksternalitas/dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan seperti batu bara,
plastik dan bahan bakar industri. Dalam rangka meningkatkan upaya menjaga
kelestarian lingkungan hidup, pemerintah perlu menambah jenis pigovian tax atas barang-barang yang
memiliki dampak negatif terhadap lingkungan antara lain pajak bahan bakar batu
bara, pajak/cukai plastik, dan pajak bahan bakar industri.
Dasar hukum pemungutan pigovian tax dalam bentuk Surat Edaran
tidak memiliki kekuatan hukum sehingga mengakibatkan penolakan dari Wajib
Pajak. Aturan penggunaan atas hasil pemungutan pigovian tax yang tidak secara jelas menyebutkan untuk upaya
pelestarian lingkungan hidup mengakibatkan dukungan masyarakat yang rendah. Oleh
karena itu Penerapan pigovian tax diatur
dengan dasar hukum yang kuat, serta penggunaan atas hasil pemungutan disebutkan
secara jelas sekurang-kurangnya untuk upaya pelestarian lingkungan
Koordinasi dan
komunikasi dalam penyusunan peraturan tentang pigovian tax mempengaruhi kelancaran pelaksanaannya. Maka penyusunan
peraturan tentang pigovian tax harus melibatkan para stakeholder dan pihak-pihak yang nantinya terdampak, sehingga
tercipta peraturan yang tidak memberatkan perekonomian namun tujuan pelestarian
lingkungan hidup tetap tercapai.
[1]
Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup Indonesia 2014, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Didownload di http://www.menlhk.go.id/downlot.php?file=iklh2014.pdf
[3]
Gilbert E. Metcalf, Implementing a Carbon Tax, © 2017 Resources for the Future
(RFF). Di download di http://www.rff.org/files/document/file/RFF-Rpt-Metcalf_carbontax.pdf
[4]
Andrea Baranzini and Stefano Carattini, Effectiveness, earmarking and labeling: testing the acceptability
of carbon taxes with survey data,
Environmental Economics and Policy Studies, 2017, Volume 19, Number 1,
Page 197. Di download di https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs10018-016-0144-7.pdf
Komentar
Posting Komentar